|
|
7 Mar 2005 - 9:30
Potensi Kawasan Candi Borobudur tidak Berkembang
Potensi kawasan wisata Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah tidak berkembang, akibatnya masyarakat kecewa karena mereka pada masa lampau mengorbankan tanah dan bangunannya untuk pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB).
"Jelas dapat menimbulkan kekecewaan masyarakat, mereka merasa pengorbanan itu menjadi 'bumerang'," kata Pengelola Warung Info Jagad Cleguk (WIJC) Sucoro saat diskusi Refleksi Dua Tahun Peran WIJC di Borobudur, Senin malam.
Diskusi yang berlangsung hingga Senin tengah malam itu antara lain diikuti budayawan, seniman, pelaku wisata, pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat, anggota DPRD, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Magelang, dan pemuka masyarakat Borobudur.
WIJC selama dua tahun terakhir ini menjadi tempat komunitas Borobudur berkumpul membicarakan secara informal berbagai ikhwal menyangkut persoalan kehidupan di sekitar candi itu.
Kebijakan pengembangan wisata Borobudur oleh pemerintah hingga kini masih tertuju satu titik keramaian yakni di kompleks TWCB sehingga daerah lain sulit mengembangkan potensi kepariwisataan.
Pasca pemugaran Borobudur fase pertama tahun 1980 oleh Unesco memang mengakibatkan perubahan antara lain peningkatan kunjungan wisata yang setiap tahun sekitar tiga juta orang.
Namun, katanya, dampak peningkatan kunjungan wisata itu ternyata tak seiring dengan peningkatan ekonomi masyarakat. Masyarakat di Borobudur tercatat sebagai miskin.
Ia mengatakan, awal pembangunan TWCB untuk kepentingan pelestarian candi yang dibangun abad ke-8 masa Dinasti Syailendra itu tetapi saat ini justru terjadi eksploitasi candi.
Selain itu, katanya, keterlibatan masyarakat untuk upaya pelestarian, pengembangan dan pemberdayaan potensi budaya serta pemanfaatan Borobudur belum pernah jelas.
Pelarangan terhadap masyarakat untuk berusaha di area TWCB yang berdampak langsung pada perekonomian masyarakat sekitar candi tidak pernah dimusyawarahkan terlebih dahulu.
Ia menjelaskan, tujuan nenek moyang Bangsa Indonesia mendirikan Candi Borobudur salah satunya untuk sarana spiritual, membersihkan jiwa dan mencari pencerahan batin.
"Sekarang yang terjadi justru menjadi sebab timbulnya kemarahan, kejengkelan, kebencian, keserakahan yang justru merupakan ironi," katanya.
Selama tiga tahun terakhir, katanya, persoalan menyangkut pengembangan Candi Borobudur dan kehidupan masyarakat sekitarnya telah menjadi sarana pembelajaran masyarakat.
"Mereka tidak hanya berusaha keras mendapatkan rejeki dari Borobudur tetapi mereka melakukan proses pembelajaran dan pendidikan nilai atas persoalan yang dihadapi," katanya.
Pada masa mendatang perlu usaha menyamakan persepsi, pemahaman dan komunikasi terus menerus semua pihak untuk mencapai kesepakatan, sebagai dasar kebijakan pengembangan kawasan Borobudur secara terpadu dan berkelanjutan.
Pada kesempatan itu pihak WIJC menyatakan perlunya peninjauan kembali Keppres Nomor 1 Tahun 1992 tentang TWCB.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Magelang Wibowo Setyo Utomo menyatakan menyambut positif munculnya pemikiran tentang perlunya peninjauan ulang Keppres Nomor 1 Tahun 1992.
"Saya setuju 'review' Keppres itu. Kebijakan pembentukan TWCB dikaji lagi dengan 'meminterkan' masyarakat karena partisipasi masyarakat harus mewarnai pengambilan keputusan," katanya.
Jika Keppres itu dikaji ulang, katanya, kemungkinan bisa mengurangi persoalan keruwetan Candi Borobudur. (Ant/O-1)
[Lutfi]
|
| Komentar: 0 | Kirim Artikel |
|
|
|
|
|